about the world

about the world

Selasa, 22 November 2011

Tentang Suku Dayak Lundayeh


Ø Legenda Dayak Lundayeh

Sampai saat ini belum ada penelitian yang mendalam tentang asal-usul dayak Lundayeh yang dapat dijadikan referensi yang akurat. Namun menurut legenda bahwa nenek moyang dayak Lundayeh berasal dari daratan Cina yang berimigrasi ke bumi Borneo berabad-abad yang lalu. Hal ini dapat dibuktikan dengan benda peninggalan budaya yang ada dalam masyarakat Dayak Lundayeh, seperti tabu’ (guci), rubi (tempayan), patung proslen, bau (manik) dari Cina dan felepet (pedang sejenis samurai).


Nenek moyang dayak Lundayeh masuk melalui sungai Sesayap. Budaya mereka adalah nomaden atau hidup berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain dengan cara mudik ke hulu sungai. Alasan budaya berpindah-pindah tempat tinggal ini, adalah: pertama karena menghindari dari kejaran musuh; dan kedua untuk mencari lahan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ada beberapa tempat yang diperkirakan pernah menjadi daerah hunian nenek moyang dayak Lundayeh, yaitu di daerah Seputuk dan Kebiran. Di dua derah ini ditemukan kuburan tua dan batang ulin bekas dipotong-potong manusia lama. Oleh karenanya ada yang menyebut bahwa orang Mentarang adalah suku Putuk.

Sumpah tulang badi’ adalah salah satu legenda masyarakat yang menceritakan bahwa jaman dahulu ada dua bersaudara laki-laki dan perempuan yang hidup di Malinau. Demi keamanan dari kejaran musuh, si kakak meminta adik perempuannya mudik ke hulu sungai dan si kakak tetap tinggal di Malinau. Sang kakak bersumpah demi tulang badi’ (seperti sumpah Palapa dari Mahapati Gajah Mada) : “Bahwa tidak akan ada yang boleh masuk ke hulu sungai ini untuk mengganggu hidup adik perempuanku dan sungai Sembuak inilah batasnya”.

Sejak saat itu sang adik perempuan mudik ke hulu sungai dan beranak-pinak di sana. Sedangkan si kakak laki-laki tetap hidup dan beranak-pinak di Malinau. Sesuai dengan sumpahnya, sang kakak menjaga jangan sampai ada yang masuk ke hulu sungai untuk mengganggu adiknya. Sampai-sampai arus balik air-pasang sederas apapun dipercaya akan berhenti di muara sungai Sembuak.


Legenda sumpah tulang badi’ inilah yang dipercaya menjadi cikal-bakal manusia dari suku Tidung di Malinau dari sang kakak laki-laki, dan suku Putuk atau Lundayeh dari sang adik perempuan di hulu sungai.

Ø  Masuknya Agama Kristen

Sebelum agama Kristen masuk ke daerah Mentarang dan Krayan, masyarakat dayak Lundayeh adalah pemeluk animisme. Mereka percaya pada kekuatan-kekuatan alam-gaib, seperti penyembahan terhadap roh-roh nenek moyang serta benda-benda keramat lainnya.

Untuk mempertahankan diri atau mencari daerah yang menjadi lahan kehidupan, masyarakat tidak segan-segan untuk febunu’ (berperang) dengan komunitas yang lain. Jika seorang pria yang ingin dianggap perkasa, maka ia akan pergi ke daerah musuh untuk mengayau (memotong kepala).

Pada tahun 1932 seorang misionaris CMA (Christian Missionary Aliance) berkebangsaan Amerika bernama Rev. E.W. Presswood bersama isterinya Fiolla Presswood masuk ke wilayah masyarakat dayak Lundayeh di Mentarang dan Krayan menyebar agama Kristen. Pada awalnya masyarakat di Mentarang kurang menanggapi ajaran agama kristen, dan sulit untuk membuang kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar turun-temurun. Namun dengan dengan tekun dan kesabaran yang tinggi, Presswood terus menyampaikan kabar penyelamatan manusia dari dosa dan mengadakan kebaktian-kebaktian rutin di dalam rumah-rumah penduduk di Mentarang sampai ke daerah Krayan.

Pada tahun 1938 Ny. Fiola Presswod meninggal dunia di Long Berang. Oleh lembaga misi CMA, Presswood diberikan waktu cuti pulang ke USA untuk beristirahat dan menenangkan diri. Sebagai ganti Presswood pada tahun 1939 dikirim, yaitu Rev. John Willfinger untuk melanjutkan misi Kristen di daerah Mentarang dan Krayan.
Pada saat pecah Perang Dunia II, tentara Jepang yang bermarkas di Tarakan datang ke Long Berang untuk menangkap John Willfinger karena dianggap sebagai bagian dari sekutu. Masyarakat Lundayeh pada waktu itu berusaha untuk menyembunyikan John Willfinger di desa-desa sekitar Long Berang, namun John Willfinger tidak ingin masyarakat dayak Lundayeh dilibatkan dan menjadi sasaran pembunuhan tentara Jepang.

Pada tahun 1942 John Willfinger menjadi tawanan Jepang dan dibawa ke Tarakan. Tepat pada hari Natal, yaitu tanggal 25 Desember 1942 di mana orang-orang Kristen seluruh dunia menyambut hari kelahiran Yesus Kristus, seorang hamba Tuhan yang bekerja dalam misi penyelamatan manusia dari dosa, yaitu John Willfinger tewas sebagai martir ditembak oleh tentara Jepang di Tarakan.


Setelah Perang Dunia II usai dan Indonesia telah menjadi negara yang merdeka, pada tahun 1946 Rev. E.W. Preswood kembali datang ke Long Berang dari USA bersama isteri keduanya yaitu Ny. Ruth Presswood untuk melanjutkan misi pelayanan agama Kristen.


Theologi Kristen yang diajarkan oleh E.W Presswood inilah yang menjadi cikal-bakal berkembangnya ajaran agama kristen dengan pesatnya di daerah komunitas dayak Lundayeh, seperti Mentarang, Krayan dan Malinau.

Rumah panjang, Rumah adat suku Dayak Lundayuh

Kamis, 17 November 2011

Tentang Sejarah Suku Dayak


Orang yang disebut Dayak itu hanyalah ada di Kalimantan, sedang kenapa mereka disebut Dayak atau “Orang Dayak“ dalam bahasa Kalimantan secara umum berarti “Orang Pedalaman“ yang jauh dan terlepas dari kehidupan kota.
Dulunya memang begitu. Di mana-mana ada perkampungan suku dayak. Mereka selalu berpindah ke satu daerah lain, jika di mana mereka tinggal itu ada orang dari suku lain yang juga tinggal atau membuka perkampungan di dekat wilayah tinggal mereka.
Disebut ‘Dayak’ berarti tidaklah hanya untuk satu suku, melainkan bermacam-macam seperti Suku Dayak Kenyah, Suku Dayak Hiban, Suku Dayak Tunjung, Suku Dayak Bahau, Suku Dayak Benua, Dayak Basaf, dan Dayak Punan yang masih pula disertai puluhan “Uma “ (anak suku) dan tersebar diberbagai wilayah Kalimantan.
Pada kurun waktu sebelum abad 20, secara keseluruhan Suku Dayak ini tak mengenal agama Kristen dan Islam. Yang ada pada mereka hanyalah kepercayaan pada leluhur, binatang-binatang, batu batuan, serta isyarat alam pembawaan kepercayaan Hindu kuno. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari mereka mempercayai berbagai pantangan yang tandanya diberikan oleh alam. Pantangan dalam kehidupan masyarakat Dayak hanya ada dua. Yaitu pantangan yang membawa kebebasan sehingga populasi mereka bertambah banyak dan ada pula karena pantangan berakibat populasi mereka semakin sedikit dan kini malah hampir punah. Seperti misal kehidupan yang tak boleh berbaur dengan masyarakat lain dari suku mereka.
Pantangan ini membuat mereka selalu hidup tak tenang dan selalu berpindah pindah. Sehingga kehidupan mereka tak pernah maju bahkan cendrung tambah primitif. Misalnya saja seperti Suku Dayak Punan. Suku yang satu ini sulit  berkomunikasi dengan masyarakat umum. Kebanyakan mereka tinggal di hutan hutan lebat, di dalam goa-goa batu dan pegunungan yang sulit dijangkau. Sebenarnya hal tersebut bukanlah kesalahan mereka. Namun karena budaya  pantangan leluhur yang tak berani mereka langgar terjadilah keadaan demikian. Hal ini sebenarnya adalah kesalahan dari leluhur mereka.
Dalam riwayat atau cerita, leluhur mereka ini asal-usulnya datang dari negeri yang bernama “Yunan “ sebuah daerah dari daratan Cina. Mereka berasal dari keluarga salah satu kerajaan Cina yang kalah berperang yang kemudian lari bersama perahu-perahu, sehingga sampai ke tanah Pulau Kalimantan. Karena merasa aman, mereka lalu menetap di daratan tersebut. Walau demikian, mungkin akibat trauma peperangan, mereka takut bertemu dengan kelompok masyarakat manapun. Mereka kuatir pembantaian dan peperangan terulang kembali sehingga mereka bisa habis atau punah tak bersisa. Karena itulah oleh para leluhur mereka dilakukan pelarangan dan pantangan bertemu dengan orang yang bukan dari kalangan mereka.
Memang pada Abad ke 13, daratan Cina penuh dengan pertikaian dan peperangan antara raja-raja yang berkuasa untuk menentukan salah satu kerajaan besar yang menguasai seluruh daratan Cina. Karena saling tak mengalah, maka terjadilah peperangan sesama mereka untuk menentukan kerajaan mana yang paling besar dan menguasai seluruh daratan Cina itu.
(http://banuadayak.wordpress.com)

Tentang Sejarah Kota Samarinda

Pada saat pecah perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin angkatan laut menyerang Makasar dari laut, sedangkan Arupalaka yang membantu Belanda menyerang dari daratan. Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanudin terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal dengan ” PERJANJIAN BONGAJA” pada tanggal 18 Nopember 1667.
Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja tersebut, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah kerajaan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh.

Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua “sama” derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau “rendah”. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaan “SAMARINDA”.

Orang-orang Bugis Wajo ini bermukim di Samarinda pada permulaan tahun 1668 atau tepatnya pada bulan Januari 1668 yang dijadikan patokan untuk menetapkan hari jadi kota Samarinda. Telah ditetapkan pada peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor: 1 tahun 1988 tanggal 21 Januari 1988, pasal 1 berbunyi “Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban 1078 H” penetapan ini dilaksanakan bertepatan dengan peringatan hari jadi kota Samarinda ke 320 pada tanggal 21 Januari 1980

Tentang Sejarah Kota Balikpapan


Sejarah Kota Balikpapan
Nama Balikpapan kurang jelas kapan berasal dan apa makna nama itu. Menilik susunan katanya dapat dimasukkan ke dalam asal kata bahasa Melayu. Menurut buku karya F. Valenijn pada tahun 1724, menyebut suatu daerah di hulu sebuah sungai di sebuah Teluk sekitar tiga mil dari pantai, desa itu bernama BILIPAPAN. Lepas dari persoalan ucapan maupun pendengaran, jelas bahwa nama tersebut dikaitkan dengan sebuah komunitas pedesaan di teluk yang sekarang dikenal dengan nama Teluk Balikpapan.



Terdapat beberapa versi terkait dengan asal-usul nama Balikpapan :
1. Versi Pertama ( Sumber : Buku 90 Tahun Kota Balikpapan yang mengutip buku karya F. Valenijn tahun 1724 )
Menurut legenda asal nama Balikpapan adalah karena sebuah kejadian yang terjadi pada tahun 1739, sewaktu dibawah Pemerintahan Sultan Muhammad Idris dari Kerajaan Kutai, yang memerintahkan kepada pemukim-pemukim di sepanjang Teluk Balikpapan untuk menyumbang bahan bangunan guna pembangunan istana baru di Kutai lama. Sumbangan tersebut ditentukan berupa penyerahan sebanyak 1000 lembar papan yang diikat menjadi sebuah rakit yang dibawa ke Kutai Lama melalui sepanjang pantai. Setibanya di Kutai lama, ternyata ada 10 keping papan yang kurang (terlepas selama dalam perjalanan) dan hasil dari pencarian menemukan bahwa 10 keping papan tersebut terhanyut dan timbul disuatu tempat yang sekarang bernama “Jenebora”. Dari peristiwa inilah nama Balikpapan itu diberikan (dalam istilah bahasa Kutai “Baliklah – papan itu” atau papan yang kembali yang tidak mau ikut disumbangkan).
2. Versi Kedua ( Sumber : Legenda rakyat yang dimuat dalam buku 90 Tahun Kota Balikpapan )
Menurut legenda dari orang-orang suku Pasir Balik atau lazim disebut Suku Pasir Kuleng, maka secara turun menurun telah dihikayatkan tentang asal mula nama “Negeri Balikpapan”. Orang-orang suku Pasir Balik yang bermukim di sepanjang pantai teluk Balikpapan adalah berasal dari keturunan kakek dan nenek yang bernama ” KAYUN KULENG dan PAPAN AYUN “. Oleh keturunannya kampung nelayan yang terletak di Teluk Balikpapan itu diberi nama “KULENG – PAPAN” atau artinya “BALIK – PAPAN” (Dalam bahasa Pasir, Kuleng artinya Balik dan Papan artinya Papan) dan diperkirakan nama negeri Balikpapan itu adalah sekitar tahun 1527.

Berikut ini ada Legenda Kota Balikpapan
Tersebutlah 4 orang kakak beradik sekandung yang datang dari Lautan untuk bertapa di sebuah bukit (Balikpapan). Selama masa pertapaan tersebut, jadilah 3 orang diantara mereka sebagai ular naga yang sangat besar dan melingkari seluruh daratan kota Balikpapan yang berbukit-bukit. Badan ular naga tersebut meliuk-liuk mengikuti kontur tanah kota Balikpapan. Mereka bertapa dalam tempo tertentu yang di ketahui oleh mereka sendiri untuk membentuk dan menjaga keharmonisan bukit-bukit tersebut. Selesainya waktu pertapaan dan masa untuk meninggalkan bukit tersebut di tandai dengan hujan yang sangat deras. Satu persatu dari mereka akan pergi apabila hujan yang sangat deras menyelimuti bukit-bukit.
Orang-orang tua terdahulu dan yang masih mempercayai cerita tersebut, sangat khawatir apabila hujan turun tiada henti dengan jumlah curah hujan yang besar. Adapun ular naga pertama keluar pada kira-kira tahun 1978 dimana saat itu terjadi banjir dan tanah longsor yang mengkawatirkan seluruh penduduk dan merugikan jiwa dan harta. Menurut cerita orang, jalan yang di tuju saat itu adalah lautan melewati sekitar pasar baru. Yang mana setelah hujan reda dan banjir kering, tanah di jalanan tersebut berbentuk seperti ular naga.
Kira-kira pada tahun 1985, terjadi lagi hujan dengan petir dan mengakibatkan banjir serta tanah longsor yang sangat meresahkan. Terjadi di sekitar bukit perumahan pertamina. Yang mengkibatkan pecahnya saluran besar pembuangan air pertamina dan menimpa perumahan penduduk kampung yang ada di bawahnya dan juga merugikan jiwa dan harta. Setelah hujan reda dan masyarakat mulai berbenah, ditemukan di jalan tersebut, bentuk meliuk seperti jalan ular menembus pagar kawat dan memperlihatkan bahwa kawat tersebut berlubang menuju arah lautan.
Seekor naga masih tetap bertapa sampai dengan saat ini, dan ini adalah naga terbesar dari ketiganya. Apabila ada hujan yang lebat dan tiada henti, mungkin saat itulah naga terbesar kembali kelautan. Sedangkan seorang lagi, berubah menjadi manusia. Yang dalam jangka waktu pertapaannya tersebut, ia berdiri tegak seperti pohon yang memiliki akar, daun dan ranting.
Dari kejauhan di lautan, pelaut tersesat, sering melihat titik merah seperti api yang memandang lautan, yang mana konon itu adalah mata sang naga. Adapun mengapa naga tersebut keluar dari bukit adalah karena telah tidak senang dengan keadaan kehidupan di bukit-bukit tersebut dan versi lain menyebutkan bahwa telah selesai masa pertapaannya dan ia kembali ke laut untuk berpasangan.

Matahari Terbenam di Kota Balikpapan








Kilang Minyak Kota Balikpapan




Sumber balikpapan.go.id dan wikipedia

Rabu, 16 November 2011

Tentang Kalimantan Timur "Bumi Borneo "

Berbicara tentang Indonesia, pada idealnya berbicara tentang puluhan ribu pulau yang terbentang didalamnya. Namun bagaimanapun juga, seringkali topik keindonesiaan menjadi lebih terspesialisasi kebeberapa titik tempat. Tentang ekonomi misalnya, pembicaraan Indonesia seolah-olah menciut menjadi perbincangan Pulau Jawa saja. Lain lagi tentang wisata. Dalam topik itu, Indonesia seolah identik menjadi pulau Bali semata.

Negeri yang besar wilayahnya puluhan kali ukuran negara Jerman ini masih terkungkung pada permasalahan ketidakmerataan pembangunan. Proses penguatan infrastruktur hanya terjadi pada sekitar Pulau Jawa saja, atau yang lebih sering dikenal dengan Jawasentris.
Akibatnya, banyak pulau-pulau selain Jawa tertinggal banyak langkah dalam marathon pembangunan negeri maritim ini. Termasuk di antaranya Pulau besar seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, dan Papua, yang notabene menyimpan ‘harta karun’ negara yang masih belum banyak terjamah. Dan tulisan saya kali ini akan lebih berfokus pada pembahasan Kalimantan Timur (Kaltim) saja, yang merupakan bagian dari Pulau Kalimantan (Borneo).
Seperti yang dikatakan dalam buku dr. Sofyan Hasdam yang berjudul Visi Kalimantan Timur 2025, dikatakan bahwa propinsi Kaltim menempati posisi yang unik dalam perekonomian Indonesia. Pada satu sisi, sama seperti NAD, Propinsi Riau, dan Propinsi Papua, Propinsi Kaltim dikenal sebagai propinsi yang ‘kaya’. Disatu sisi, kaya disini bisa dimaksudkan dalam Produk Domestik Bruto (PDRB) yang tergolong tinggi (lihat gambar).
Namun dalam sisi yang lain, ternyata kekayaan yang dimiliki Kaltim tidak sebanding dengan tingkat kemakmurannya. Jika dibandingkan dengan propinsi-propinsi yang ada di sekitar Pulau Jawa, tingkat kemakmuran wilayah dan masyarakat Propinsi Kaltim tergolong terbelakang. Dalam beberapa literatur, disebutkan bahwa salah satu parameter tingkat kemakmuran adalah harga beras. Di Kalimantan, harga berasnya bisa sampai dua kali lipat besarnya daripada harga beras di Jawa. Kesenjangan antara PDRB yang tinggi dan tingkat kemakmuran yang rendah itu tentu memerlukan perincian yang jelas.
Dalam artian yang sederhana, sebenarnya jawaban dari kesenjangan ini tidaklah terlalu sulit. Hal ini terjadi karena masih rendahnya peran serta propinsi dan masyarakat Kaltim dalam proses pembentukan PDRB-nya. Masyarakat Kaltim bukan hanya masih rendah dalam peran serta sebagai penyumbang tenaga kerja, atau sebagai pemilik modal dan produsen teknologi, melainkan terjadi pula dalam bentuk rendahnya kualitas kepemilikan masyarakat Kaltim terhadap tanah tempat berlangsungnya berbagai kegiatan yang membentuk PDRB tersebut.
Memang secara fisik, kegiatan semacam proses eksploitasi minyak bumi, gas alam, batu bara, uranium, atau bahkan usaha-usaha perkebunan besar berada persis di wilayah propinsi Kaltim. Tetapi bila ditelusuri kepemilikannya, tanah-tanah tersebut telah beralih kepemilikannya kepada pemerintah pusat, sehingga berstatus tanah negara.
Apakah itu salah jika dikuasai oleh negara? Tidak salah memang. Namun jika ditelusuri lewat perspektif pembangunan daerah, hal ini bisa berakibat fatal. Dengan kedudukan pihak paling berkuasa adalah pemerintah pusat, dan bukan pemerintah daerah (apalagi masyarakat Kaltim), maka sudah tentu kenikmatan hasil beserta pajak-pajak proses pembentukan PDRB lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat. Pemilik modal dan produsen teknologi yang bercokol diluar Kaltim juga mendapatkan keuntungan. Wilayah dan masyarakat Kaltim, karena peran sertanya rendah, hanya berhak mendapat bagian yang rendah pula.
Satu pesan bung Karno yang dapat menjadi acuan berkenaan dengan masalah ini: berhenti menjadi lahan empuk untuk memutar kelebihan modal yang dimiliki oleh para pemilik modal asing. Jadi, tantangan berat  propinsi Kaltim dimasa depan adalah terletak sinkronisasi kebijakan investasi dan sektor lainnya lebih rapih, serta upaya besar-besaran untuk meningkatkan peran serta propinsi dan masyarakat Kaltim dalam proses pembentukan PDRB di wilayahnya.
Kaltim memiliki segunung harta alam yang sangat banyak. Mulai dari tanahnya, hingga bawah tanahnya menyimpan aset yang sangat luar biasa. Bukankah sangat ironis jika membiarkan kartu truf ekonomi masa depan Indonesia ini habis, tanpa ada penyeimbangan infrastruktur yang mengangkat citra Kaltim dari daerah tertinggal menjadi daerah maju?
Ada banyak pekerjaan rumah bagi semua komponen sumber daya manusia Kaltim untuk membangun propinsinya. Sinergisasi dan pencanangan visi dan program pembangunan antara pemerintah Kaltim, semangat masyarakat Kaltim, dan peran kaum menengah Kaltim (pengusaha, mahasiswa, tokoh agama, militer, guru) perlu ditingkatkan lagi. Tanpa ada peran dari ketiganya, maka percepatan pembangunan Kaltim hanyalah sebuah mimpi dan angan-angan belaka. Maka menjadi tugas siapakah untuk memulainya?
NB:
Untuk kawan-kawan pemuda sekalian, kita punya peran besar di masa depan nanti untuk membangun pulau tempat kita dibesarkan. Bolehjadi sekarang kawan-kawan kuliah diberbagai tempat di penjuru Indonesia atau dunia ini. Tapi jangan lupa, mari kita membangun Kaltim dengan ilmu dan kompetensi yang kita punya, setelah kita sukses dan mapan.
Setelah saya membaca beberapa buku dan berdiskusi dengan beberapa pihak, ternyata planologi wilayah Kalimantan Timur telah disiapkan sejak lama. Berikut ini adalah poin pidato Yurnalis Ngayoh (Gubernur Kaltim 2006-2008) tentang perencanaan tata letak Kaltim di masa depan:

  1. Bontang adalah kota Industri

  2. Kutai Barat, Kutai Timur, dan Kutai  Kartanegara adalah kota lumbung sumber daya alam serta daerah aliran dana investasi

  3. Balikpapan sebagai kota penyediaan barang

  4. Samarinda sebagai kota penyediaan jasa

  5. Tarakan dan Nunukan sebagai gerbang negara

  6. Paser, Malinau, Tana Tidung, Penajam Pasir Utara, dan Berau sebagai daerah pemekaran khusus untuk pelestarian budaya Kaltim.
Jadi sebenarnya Kaltim telah memiliki roadmap yang jelas tentang gambaran masa depannya. Dan tentu saja masa depan ini baru dapat terwujud jika kita semua dapat menempati posisi yang tepat pula untuk membangun ‘Banua Etam’ kita. Siapa lagi yang memikirkan keberlanjutan pembangunan propinsi kita jika bukan kita sendiri?
Kaltim terletak pada zona yang paling aman dari gempa di Indonesia. Kaltim memiliki keluarbiasaan kekayaan migas, batu bara, dan uranium. Tanah Kalimantan Timur juga sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan perkebunan. Belum lagi unsur-unsur kearifan lokal dan pariwisata yang masih bisa di eksplor lebih jauh. Banyak lahan-lahan potensial yang bisa digarap oleh kita semua di propinsi ini nanti. Jangan sampai, kita tidak menjadi tuan rumah di rumah kita sendiri.